oleh BiksuChân Trời Đạo Bi (Biksu Bhadrawarman)
(“Why do you cry, sisters?” adalah kutipan dari buku “The Sun My Heart” oleh Thich Nhat Hanh):
Beberapa tahun lalu, sebuah grup pro-pemerintah di kota Ho Chi Minh menyebarkan rumor bahwa saya meninggal karena serangan jantung. Berita ini menyebabkan kebingungan di seluruh negeri. Seorang biksuni menulis kepada saya bahwa berita tersebut sampai di komunitasnya ketika dia mengajar di kelas untuk para shramaneri (calon biksuni, dan atmosfir di kelas tersebut turun drastis dan seorang biksuni pingsan. Saya telah diasingkan selama lebih dari 20 tahun karena keterlibatan saya dalam gerakan perdamaian, dan saya tidak tahu biksuni muda ini atau generasi biksu dan biksuni saat ini di Vietnam. Tetapi kelahiran dan kematian hanyalah seperti fiksi belaka, tidaklah mendalam; mengapa Anda menangis, saudariku? Anda mempelajari Buddhisme, melakukan apa yang saya lakukan. Jadi jika Anda eksis, saya juga eksis. Apa yang tidak eksis tidak bisa menjadi eksis dan apa yang eksis tidak bisa menjadi tidak eksis. Apakah Anda telah merealisasinya, saudariku? Jika kita tidak bisa membawa sebutir debu yang eksis menjadi tidak eksis, bagaimana hal yang sama terjadi pada manusia? Di dunia ini, banyak orang yang terbunuh karena memperjuangkan perdamaian, hak asasi manusia, kemerdekaan, dan keadilan sosial, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat membinasakan mereka. Mereka masih eksis. Saudariku, apakah Anda berpikir bahwa Yesus Kristus, Mahatma Gandhi, Lambrakis, Dr. Martin Luther King Jr. telah wafat? Tidak, mereka masih ada di sini. Kita adalah mereka. Mereka ada di dalam setiap sel dalam tubuh kita. Jika Anda mendengar berita seperti itu lagi, tersenyumlah. Senyum lembut Anda akan menunjukkan bahwa Anda telah merealisasikan pengertian sempurna dan keberanian. Buddhisme dan seluruh dunia menaruh harapan pada Anda.
Ketika saya mendengar berita bahwa Thay wafat pada tahun 2014, saya menangis sepanjang hari. Ada rumor yang beredar di Indonesia bahwa Thay telah wafat. Beberapa jam kemudian, kami mendapatkan konfirmasi dari Plum Village bahwa Thay belum meninggal. Thay terkena strok dan banyak orang berpikir bahwa Thay telah wafat. Malam hari itu, kami mengadakan upacara puja bakti di Wihara Ekayana Arama dengan para biksu, anggota Ordo Interbeing, dan para umat awam. Kami melantunkan Namo Avalokiteshvaraya dan mengirimkan energi welas asih kepada Guru kami, Thay.
Pada saat itu, aspirasi saya untuk pergi ke Plum Village menjadi semakin kuat. Saya bertekad untuk menjadi seorang biksu sejak bertemu Thay pada tahun 2010, tetapi orang tua saya menyarankan agar saya menyelesaikan studi saya terlebih dahulu. Kemudian saya harus menunggu studi saya selesai hingga tahun 2014, dan juga membantu saya untuk merefleksikan kembali aspirasi saya, apakah saya benar-benar mau menjadi seorang biksu. Kadang-kadang saya merasa menyesal, jika saya memutuskan untuk menjadi seorang biksu pada tahun 2010 dan pergi ke Plum Village pada saat itu juga, saya akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Thay, dan menerima bimbingan dan ajaran dari beliau secara langsung. Pada akhirnya saya tiba di Plum Village pada tahun 2015, ketika Thay tidak bisa berbicara. Beberapa kali saya bermimpi bertemu dengan Thay di Plum Village, dan membuat saya sangat sangat bahagia.
Ketika saya mengikuti Retret Wake Up di Thailand yang dibimbing oleh Thay pada tahun 2013, saya melihat sebuah kaligrafi di slideshow, “You have seen the path. Do not fear anymore (Anda telah melihat Sang Jalan. Anda tidak perlu merasa takut)”. Saat itu juga, saya merasa sangat tersentuh hingga menangis. Saya menyadari bahwa saya memiliki rasa takut jika saya tidak dapat bertemu lagi dengan Thay. Kaligrafi tersebut bagi saya seperti kata-kata dorongan dari Thay yang mengatakan bahwa tidaklah penting bagi saya untuk bertemu dengan Thay. Hal yang lebih penting adalah untuk melihat Sang Jalan.
Saya menerima nama Dharma sebagai seorang biksu, Chân Trời Đạo Bi (True Sky over the Path of Compassion). Ini sangat membantu untuk melihat bahwa latihan saya adalah untuk melihat Jalan Welas Asih. “Jalan Welas Asih” adalah salah satu bab favorit saya dalam buku “Old Path White Clouds”. Bab ini berisi kisah mengenai Siddhartha sebelum menjadi Buddha. Siddhartha dan Yasodhara adalah aktivis sosial, dan mereka tidak tahu bagaimana cara menangani kesedihan dan penderitaan dalam hati mereka. Yasodhara merasa sangat sedih ketika seorang anak yang dirawatnya selama lebih dari satu minggu meninggal. Siddhartha mencoba untuk menghiburnya tetapi dia tidak bisa membantu Yasodhara untuk menangani kesedihan karena dia sendiri belum melihat Sang Jalan. Setelah Siddhartha menjadi Buddha, Beliau dapat melihat jalan welas asih dan pengertian.
Saya merasa sangat beruntung karena Thay telah membantu saya untuk melihat Sang Jalan. Saya memiliki banyak luka dalam diri saya sebagai aktivis sosial sebelum saya menjadi seorang biksu, dan saya masih dalam proses untuk menyembuhkan luka dalam hati saya. Mengetahui bahwa saya berada dalam Sang Jalan memberikan saya banyak kebahagiaan. Rasa sakit atas luka tersebut muncul dari waktu ke waktu, tetapi saya telah belajar bagaimana untuk hadir bersama-sama dengan luka tersebut, dan mengerti luka tersebut. Thay selalu mengajarkan kita bahwa mengerti penderitaan adalah cara atau jalan untuk melahirkan welas asih. Tanpa penderitaan, tidak akan ada welas asih. Saya melihat luka dalam hati saya adalah bahan dasar untuk melahirkan welas asih. Ketika luka tersebut atau penderitaan bermanifestasi dalam diri saya, saya berkata kepada diri saya, “Anda telah melihat Sang Jalan. Anda tidak perlu merasa takut”. Ini adalah seperti mantra untuk diri saya sendiri. “Bernapas masuk. Anda telah melihat Sang Jalan. Bernapas keluar, Anda tidak perlu merasa takut”.
Mantra ini juga sangat membantu saya untuk mengatasi penyesalan saya karena tidak dapat bertemu dengan Thay, untuk merangkul rasa takut dan mengingatkan diri saya bahwa latihan saya adalah agar dapat melihat Sang Jalan. Saya merasa sangat bersyukur karena saya terlahir dalam kehidupan spiritual ini, sebagai murid Thay. Saya telah belajar banyak hal dari Thay walaupun Thay tidak dapat mengajar secara verbal. Thay terus mengajar secara non-verbal. Ketika Thay mengikuti meditasi jalan dan duduk di kursi roda, Thay mengambil daun dan dengan sedikit gerakan riang, Thay membuat banyak orang tertawa. Thay tidak perlu mengajar secara verbal untuk membantu orang-orang merasa bahagia. Hanya dengan menggerakkan jari-jari beliau ke langit, pohon, bunga, dan semua hal yang menakjubkan dalam kehidupan, Thay dapat membantu orang-orang untuk melahirkan sukacita dan kebahagiaan. Kadang-kadang ketika kita berhenti sejenak dalam meditasi jalan, Thay memeluk murid-muridnya, dan saya merasa pada saat itu Thay juga memeluk saya dan setiap orang.
Suatu ketika, saya melihat Thay duduk di kursi roda ketika berlatih meditasi jalan di Lower Hamlet. Saya melihat Thay dari seberang kolam teratai, dan sebuah cabang pohon membuat saya tidak dapat melihat Thay. Saya pindah ke kiri dan ke kanan, mencari Thay. Saya bertanya kepada diri saya sendiri, “Di mana Thay?” Kemudian saya menyadari bahwa saya masih terjebak pada wujud Thay. Saya mencari Thay dalam wujud beliau, dan saya belum mampu untuk melihat Thay dengan eyes of signlessness.
Thay berkata, “Thay dan murid-muridnya merasa bahwa setiap hari Buddha berlatih meditasi duduk, meditasi makan, dan meditasi jalan bersama-sama. Bagi kami, Buddha bukanlah gambaran belaka dari masa lalu tetapi merupakan realitas yang hidup, di mana kita bisa melihat dengan pemahaman mendalam mengenai tanpa-tanda.” Kadang-kadang saya merasa bahwa Thay berlatih meditasi duduk, meditasi makan, dan meditasi jalan bersama-sama walaupun Thay tidak ada di Plum Village. Setiap kali saya kembali ke napas saya, saya merasa bahwa Thay sangatlah dekat dengan saya. Jika saya tidak dapat menyadari napas saya, Thay sangatlah jauh dengan saya. Tetapi ketika saya dapat menyadari napas saya, Thay dan Buddha sangatlah dekat dengan saya.
“Buddha bertanya kepada Anuruddha, “Saya tidak melihat Ananda, di mana Ananda?” Seorang biksu lain berkata, “Saya melihat Brother Ananda berdiri di belakang pohon dan menangis. Ananda berkata kepada dirinya, “Saya belum mencapai tujuan spiritual saya dan sekarang guru saya akan segera wafat. Siapa lagi yang mengasihi saya lebih dari guru saya sendiri?”
Buddha meminta biksu tersebut untuk memanggil Ananda. Kemudian Buddha menghibur Ananda. Beliau berkata, “Janganlah merasa begitu sedih, Ananda. Tathagata telah mengingatkanmu bahwa segala dharma adalah tidak kekal. Dengan kelahiran, ada kematian; dengan muncul, ada lenyap; dengan pertemuan, ada perpisahan. Bagaimana bisa ada kelahiran tanpa adanya kematian? Bagaimana bisa ada muncul, tanpa adanya lenyap? Bagaimana bisa ada pertemuan tanpa adanya perpisahan? Ananda, Anda telah menjaga dan merawat saya dengan seluruh hati Anda selama bertahun-tahun. Anda telah membaktikan diri Anda untuk membantu saya dan saya merasa sangat bersyukur. Jasa kebajikan Anda sangatlah besar, Ananda, tetapi Anda bisa memperdalam realisasi Anda. Jika Anda berusaha sedikit saja, Anda akan dapat melampaui kelahiran dan kematian. Anda akan mencapai pembebasan dan mengatasi rasa sedih. Saya tahu Anda dapat melakukannya, dan ini akan membuat saya merasa sangat bahagia.”
Petikan kalimat dari buku “Jalur Tua Awan Putih” di atas adalah bagian favorit saya dari buku tersebut yang saya baca berulang-ulang, dan selalu menutrisi bodhicitta saya. Hal ini memberikan keyakinan bagi saya bahwa kita dapat tercerahkan tanpa kehadiran dari Yang Telah Tercerahkan. Ananda mencapai pembebasan setelah Buddha wafat. Hal ini memberikan keyakinan dan harapan bagi saya bahwa kita dapat mencapai pembabasan dan mengatasi rasa sedih setelah Thay wafat. Saya melihat bahwa kehadiran Thay di Plum Village dan Vietnam di masa-masa akhir hidup beliau, adalah untuk memberikan kesempatan bagi kita untuk lebih berusaha melampaui kelahiran dan kematian, sama seperti nasihat Buddha kepada Ananda. Thay tahu bahwa kita dapat melakukannya, dan ini akan membuat Thay sangat bahagia.
Latihan saya saat ini adalah untuk menyirami benih pengertian dan keberanian dalam diri saya. Saya membiarkan diri saya menangis ketika saya mendengar berita bahwa Thay wafat. Bagi saya agak sulit untuk membiarkan diri saya menangis karena stereotipe bahwa laki-laki tidak boleh menangis. Saya belajar dari Thay bahwa tidak ada salahnya dengan menangis. Sebelum memberikan orientasi dan lantunan “Namo Awalokiteshwaraya”, Thay berkata bahwa tidak apa-apa jika kita mau menangis ketika mendengarkan lantunan tersebut. Sesungguhnya, itu adalah latihan menangis sadar-penuh.
Ketika Thay mendengar berita bahwa lima dari pekerja sosial Sekolah Pemuda dan Pelayanan Sosial dibunuh pada tahun 1967, Thay menangis. Seorang sahabat Thay menghibur beliau dan berkata, “Thay, tidak ada gunanya menangis. Anda adalah bagaikan seorang jenderal yang memimpin tentara-tentara dengan tanpa kekerasan. Sangatlah biasa jika Anda harus menderita seperti ini.” Thay menjawab, “Tidak, saya bukanlah seorang jenderal. Saya hanyalah seorang manusia biasa. Saya yang memanggil mereka untuk melakukan pelayanan sosial, dan sekarang mereka kehilangan hidup mereka. Saya hanya bisa menangis.”
Thay terkasih, saya telah membiarkan diri saya untuk menangis sekali lagi sekarang. Jawaban saya untuk pertanyaan Thay “Mengapa Anda menangis?” adalah karena saya hanyalah seorang manusia biasa. Saya tidak bisa tersenyum ketika mendengar berita tersebut, lagi. Tetapi saya tahu bahwa sekarang saya ada di Jalan Pengertian, Keberanian, dan Welas Asih. Thay terkasih, Thay telah menunjukkan Sang Jalan. Thay adalah seorang guru yang telah menunjukkan jalan bagaimana untuk mengerti dan mengasihi. Saya bertekad untuk terus berjalan di Jalan ini. Saya tahu hal ini yang akan membuat Thay sangat bahagia.